
Usaha Jembatan dengan Pendapatan Harian Rp 20 Juta Haji Endang Dicurigai, Ancaman Penutupan Usai 15 tahun Operasi
Jembatan apung yang dimiliki oleh Haji Endang di Klari, Karawang, yang telah berdiri selama 15 tahun sekarang menjadi perdebatan bagi BBWS Citarum dan menghadapi ancaman penutupan.
Truckindo - Usaha ferry dengan pendapatan harian mencapai Rp 20 juta yang dimiliki oleh Hadji Endang di desa Anggadita, kecamatan Klari, karawang, Jawa barat mengalami gangguan.
Jembatan apung tersebut sekarang menghadapi ancaman penutupan oleh otoritas yang bertanggung jawab setelah telah berusia 15 tahun.
Tiba-tiba spanduk penghormatan terpasang di Jembatan Haji Endang oleh Balai Besar Wilayah Sungai (BBWS) Citarum.
Sebenarnya, jembatan tersebut menghubungkan Desa Anggadita di Kecamatan Klari dengan Desa Parungmulya yang berada di Kecamatan Ciampel, Kabupaten Karawang, Jawa Barat.
Papan reklame dipasang pada tiang di sekitar area jembatan, tanggal 28 April 2025, dengan tulisan berbunyi:
Berdasarkan Undang-Undang No. 17 dari tahun 2019 yang berhubungan dengan Sumber Daya Air serta Peraturan Pemerintahan No. 37 di tahun 2012 mengenai Pengelolaan Wilayah DAS, struktur ini tak mempunyai persetujuan untuk melewati alur air tersebut.
Tetapi, esok hari (29/4/25), masyarakat menurunkan spanduk tersebut.

peringatan tersebut juga diumumkan melalui postingan akun Instagram resminya, yaitu @pu_sda_citarum.
Pada postingan itu dijelaskan bahwa membangun dan mengoperasikan gudang kapal tanpa persetujuan bertentangan dengan UU No. 17 Tahun 2019 terkait Sumber Daya Air.
Di samping itu, Peraturan Menteri PUPR Nomor 28 Tahun 2015 menetapkan bahwa penggunaan area pinggir sungai perlu memperoleh persetujuan dari pihak berwenang sesuai dengan wewenang mereka.
BBWS menyatakan bahwa adanya jembatan yang tidak memiliki izin dapat menggangu fungsi alamiah dari Sungai, khususnya ketika volume air naik atau pada waktu terjadinya musibah banjir.
Mereka menginginkan penempelan spanduk itu bisa memperkuat pemahaman publik tentang betapa vitalnya taat pada peraturan mengenai sumber daya air.
Mereka juga mengusung pentingnya kerjasama diantara para pemegang kendali jembatan, pemerintahan lokal, serta BBWS dalam menemukan jawaban optimal yang bermanfaat bagi warga setempat.
Merespons spanduk itu, Endang menyampaikan bahwa jembatannya telah memiliki Nomor Induk Berusaha (NIB).

"Meskipun sebenarnya izin saya valid, Anda bisa saja mengira bahwa saya tidak sah, namun keuntungannya cukup besar. Bilanglah kalau ia membayar, saya memulai ini bukan kemarin-kemarin, sudah 15 tahun berlangsung," katanya ketika ditemui di jembatan perahu pada tanggal (29/4/25), seperti dilaporkan oleh Kompas.com.
Endang mengatakan bahwa para pengendara sepeda motor yang menyeberangi jembatan harus membayarRp 2.000.
Dana itu dipakai untuk pemeliharaan jembatan, jalanan, pencahayaan, sampai upah bagi 40 karyawan kebanyakan berasal dari penduduk setempat.
"Kini tim kami terdiri dari 40 orang, tanpa termasuk keluarga dan anak-anak mereka. Bisakah kita menutup usaha ini? Bagaimana dengan sumber penghasilannya? Apakah harus meminta pekerja saya untuk melakukan tindakan kriminal dan menjadi penjahat? Itulah pertimbangan saja; pemerintah tidak bertindak seenaknya," ungkap Endang.
Endang juga meragukan alasan di balik pengecaman terhadap jembatan tersebut, sementara ia sendiri berpendapat bahwa telah ada banyak jembatan sejenis yang sudah lama berdiri.
"Ini sudah banyak orang yang membuat sesuatu seperti itu, mencontohnya dari saya, tetapi ketika saya periksa, hanya diriku saja. Orang lain tidak ada. Apakah ada elemen tertentu di sini?" katanya.
Meski begitu, ia mengaku tak ingin berburuk sangka dan tetap terbuka untuk diwawancarai media sebagai bentuk edukasi.

"Bisa digunakan untuk mendidik keluarga dan saudara-saudara di negeri yang sama, terutama jika ada keadaan seperti ini dalam lingkungan mereka," katanya.
Endang juga menganjurkan agar otoritas yang bertanggung jawab memperhitungkan implikasi sosial dan ekonomi sebelum membuat keputusan tentang penutupan jembatan itu.
"Bila mengambil keputusan ini, pertimbangkanlah dampaknya pada masyarakat di sekitar kita yang bekerja," tuntasnya.
Sebagaimana diketahui, jembatan itu sebelumnya adalah perahu tiruan yang ditarik secara manual guna mengangkut sepeda dan motor.
Saat ini, jembatan perahu yang didirikan atas dasar ponton tersebut merupakan jalur penting bagi sejumlah besar karyawan pabrik dalam area industri Klari dan Ciampel.
Nugraha, seorang pengemudi, merasakan manfaat yang signifikan berkat adanya jembatan tersebut.
"Memberi bantuan itu baik-baik saja, silakan membayar Rp 2.000," ujarnya, (29/4/25).
"Mungkin ini jalannya yang lebih cepat, jika berputar akan memakan waktu cukup lama," lanjutnya.
Muhammad, pekerja di kawasan Surya Cipta, juga menyatakan hal serupa.
Menurutnya, jembatan sangat membantu mengejar waktu kerja di tengah kemacetan.
"Kalau telat takut kena sanksi. Kalau bisa jangan ditutup, diselesaikan antara kedua pihak bagaimana baiknya," ujarnya.
Jembatan perahu yang dirancang oleh Muhammad Endang Junaedi dan digunakan sebagai jalur alternatif penduduk Desa Anggadita di Kecamatan Klari serta Desa Parungmulya di Kecamatan Ciampel telah mencapai usia 15 tahun.
Tetapi, desain perahunya sudah mengalami perkembangan sepanjang zaman.
Pada masa lalu, bentuknya tidak seperti jembatan, tetapi perahu terbuat dari kayu yang didorong.
Oleh karena itu, apabila kapal sudah penuh, perahunya akan ditarik ke tepi Sungai di sebrang sana dan penumpang yang tak tertampung harus bersabar menanti giliran selanjutnya.
Saat ini, tampilannya semakin moderen, dengan kira-kira 11 perahu ponton disusun mulai dari pinggir Dusun Rumambe 1, Anggadita, Kecamatan Klari, sampai ke Desa Parungmulya, Kecamatan Ciampel.
Atopnya diletakkan plat besi atau baja. Selanjutnya, disepanjang sisinya dikaitkan talinya sebagai pengaman.
Zona menuju jembatan yang sudah aspal serta dilengkapi dengan pencahayaan, baik di tepi Sungai Desa Anggadita ataupun Parungmulya.
Menurut kabar, jalannya di sebelah Desa Anggadita adalah jalan buntu yang tenang.
Di sisi berlawanan dari jembatan, terdapat beberapa tenaga kerja yang sedang melaksanakan perawatan pada kapal.
Endang mengatakan bahwa sampai saat ini timnya terdiri dari 40 anggota, dengan setiap individu memiliki tanggung jawab spesifik masing-masing.
Terdapat beberapa orang yang memiliki tugas untuk memantau dan menjaga jembatan perahu, menagih biaya dari para pengemudi, serta teknisi. Mereka semua beroperasi dalam rotasi jam kerja.
Menurut Endang, setidaknya 10.000 pengguna sepeda motor melintasi jembatan perahu ponton tersebut tiap harinya.
Dia menegaskan bahwa menghantam pemotor dan memaksa mereka untuk membayar Rp 2.000 adalah tidak sopan.
" Pendapatan yang dia miliki tidak kurang dari Rp 20 juta setiap harinya," katanya.
Namun demikian, katanya lagi, setiap harinya biaya operasional sekitarRp 8 juta yang mencakup pemeliharaan, pencahayaan, dan gaji karyawan.
"Perawatan mencakup pula jalur akses menuju tempat ini," kata Endang.
Jembatan ini ramai dilintasi pengendara saat jam berangkat dan pulang kerja karyawan pabrik.
Karena itu, banyak karyawan dan penduduk sekitar menggunakannya sebagai jalur alternatif.